Pada titik tertentu dalam evolusi mental manusia, ada momen ketika otak mereka berhenti menatap langit dan mulai menunduk ke tanah bukan untuk merendah, tapi untuk mencari apa yang bisa mereka genggam, kuasai, taklukkan, atau jual demi kepuasan instan. Mereka berhenti mencari Tuhan bukan karena tercerahkan, tapi karena mereka menemukan cermin, dan dalam pantulan itu mereka melihat satu-satunya " Tuhan " yang mereka hormati: " diri sendiri yang rakus, rapuh, dan tidak pernah puas. Simbol ketuhanan yang dulu pernah sakral kini seperti rongsokan billboard yang warnanya pudar, masih berdiri hanya karena manusia butuh sesuatu untuk disalahkan ketika hidup mereka sendiri berantakan. Mereka tidak menyembah lagi; mereka cuma memakai simbol itu seperti kondom: dipakai saat butuh, dibuang ketika selesai dipakai. Filosofi kosong yang dijadikan alat untuk membungkus nafsu pribadi, supaya tampak elegan dan bisa dijual sebagai moralitas.

Sementara itu, hukum alam yang dingin seperti ujung pisau, jujur seperti kematian, dan kejam seperti waktu kini menjadi satu-satunya kebenaran yang manusia percaya. Alam tak peduli siapa kamu, apa kepercayaanmu, atau seberapa suci kamu berpura-pura. Alam hanya mengenal mekanisme: yang kuat memakan, yang lemah dikunyah sampai tulang. Dan manusia, dengan kepintarannya yang setengah matang, mengadopsinya tanpa memahami esensi brutal di baliknya. Mereka pikir mengikuti hukum alam berarti bebas dari moral. Mereka pikir menjadi “realistis” berarti boleh jadi bajingan. Mereka memutar logika menjadi mutasi beracun: “Jika alam tidak peduli, kenapa aku harus peduli?” Lalu mereka keluar ke dunia, mengoyak siapa pun yang dianggap menghalangi jalannya, mengklaimnya sebagai kebebasan, padahal itu tidak lebih dari ego yang sedang mabuk kuasa. Agama atau apa pun makna spiritual dulu tinggal jadi dekorasi estetika. Tempelan. Stiker. Tanda bahwa mereka pernah peduli, meski sekarang pedulinya hanya pada hal-hal yang bisa mereka cium, genggam, dan habisi. Simbol itu kosong bukan karena nilainya hilang, tapi karena manusia sendiri mengurasnya seperti botol anggur murahan sampai kering, lalu menuduh botolnya yang tidak berbobot, bukan ketamakan mereka.

Filosofinya jelas dan brutal: manusia selalu mencari pembenaran untuk menutupi bau busuk dirinya. Ketika Tuhan tidak bisa lagi dijadikan tameng, mereka beralih ke “realitas”. Ketika moral tidak bisa lagi menjadi alasan, mereka meminjam hukum alam meski dipahami setengah-setengah untuk menjustifikasi kerakusan mereka. Mereka menyebutnya evolusi pemikiran, padahal itu cuma pendarahan lambat dari jiwa yang kehilangan arah, kehilangan kedalaman, dan kehilangan keberanian untuk bercermin tanpa ilusi. Manusia tidak berhenti beriman. Mereka hanya mengganti objek iman mereka. Dari Tuhan yang abstrak ke diri sendiri yang lebih abstrak lagi. Dari spiritualitas ke insting. Dari harapan ke ambisi. Dan dunia menjadi lebih gelap bukan karena hilangnya cahaya dari atas, tapi karena manusia sendiri mematikan lampu dalam dirinya, lalu berjalan sambil meraba-raba, menyikut siapa pun yang lewat, dan menyalahkan gelapnya ruangan.

Pada akhirnya, sisi gelap manusia bukanlah bayangan itu identitas asli mereka. Dan vulgaritas mereka bukan sekadar kata kotor itu jujur. Kejujuran yang pahit bahwa manusia selalu kembali pada naluri paling dasar: mendominasi, menipu, memuaskan diri, lalu mengubur semuanya dengan alasan-alasan filosofis yang kedengarannya cerdas. Sebuah ironi kosmik: manusia menolak Tuhan demi realitas, tapi pada akhirnya mereka pun gagal memahami realitas itu sendiri. Mereka cuma menjadi binatang yang bisa membaca, bisa berteori, dan bisa berbohong pada diri sendiri dengan lebih elegan.

PSYCOMANTUM " Litani Sadis dari Jiwa-Jiwa yang Membusuk "

PSYCOMANTUM Asal Kota Blitar, Jawa Timur, Indonesia ini tidak dibangun oleh mimpi. Mimpi terlalu lunak. Band ini lahir dari retakan terdalam di jiwa manusia, dari sisi tergelap yang tidak pernah mau kita akui: sisi yang menikmati kehancuran, yang merasa nikmat ketika melihat sesuatu runtuh hanya agar dirinya merasa utuh. PSYCOMANTUM adalah sadisme dalam bentuk suara. Bukan sadisme fisik, itu terlalu dangkal. Ini sadisme eksistensial, sadisme yang menguliti pemikiran dan membiarkan moral terbaring tanpa napas. Manusia modern adalah tuan rumah pesta kehancuran. Mereka mengundang keserakahan, menyiapkan meja makan untuk ketamakan, dan menyajikan kemunafikan sebagai hidangan utama. Jiwa mereka tidak hanya melemah jiwa itu layu, menghitam, membusuk seperti buah busuk yang dibiarkan menunggu belatung yang tak kunjung datang.

Kesadisan manusia paling brutal? Bukan ketika mereka menyakiti orang lain. Itu hal remeh. Kesadisan paling murni adalah ketika mereka melakukan semua itu sambil berpura-pura suci, sambil menyebut nama-nama besar yang tidak mereka pahami, sambil memakai simbol spiritual sebagai jaket pelindung dari rasa malu mereka sendiri. PSYCOMANTUM melihat itu, dan mereka tidak berkhotbah. Mereka menertawakan. Tawa dingin, tawa getir, tawa sadis yang lahir dari kesadaran bahwa manusia bukan korban manusia adalah penyiksa bagi dirinya sendiri.

Musik PSYCOMANTUM adalah filosofi gelap yang tidak pernah diharapkan: Band ini menelanjangi pikiran manusia tanpa menyisakan tirai untuk berlindung. Band ini menyeret moral palsu ke lantai dan membiarkannya tergeletak seperti benda yang tak lagi bernilai. Band ini menunjukkan bagaimana manusia mencintai kehancuran lebih dari kedamaian, dan bagaimana mereka memakai “kesucian” sebagai kosmetik untuk menutupi wajah yang sudah retak di dalamnya.

PSYCOMANTUM tidak berasal dari inspirasi; Band ini berasal dari lubang terdalam tempat manusia membuang nurani. Sadisme mereka bukan amarah. Sadisme mereka adalah kejujuran tanpa belas kasihan, kejujuran yang menusuk psikologi manusia sampai tidak ada lagi ruang untuk berpura-pura. Manusia ingin menguasai dunia. Sialnya mereka bahkan tidak bisa menguasai keinginan mereka sendiri yang kotor. Dan agama? Agama menjadi tameng paling efisien untuk menutupi ambisi yang menjulur seperti akar liar di bawah tanah. Mereka memakainya seperti perisai emas, padahal di belakangnya hanya ada wajah yang retak, haus kuasa, dan penuh tar kebohongan.

PSYCOMANTUM tidak mencoba memperbaiki dunia, Band ini hanya ingin mengeringkan nanahnya dan menunjukkan betapa dalam pembusukannya. Mereka mengunyah ilusi manusia dan meludahkannya kembali dalam bentuk nada. band ini sadis karena manusia butuh sadisme untuk bangun dari mimpi palsunya. Band ini kejam karena manusia hanya mengerti pesan ketika disampaikan dengan cara yang mengguncang. band ini gelap karena cahaya sudah lama dimatikan oleh manusia itu sendiri.

PSYCOMANTUM adalah cermin yang tidak punya belas kasihan. Cermin yang memantulkan sisi terdalam manusia sisi yang kita benci, tapi tidak bisa kita tinggalkan. Sisi yang menginginkan dunia bertekuk lutut, tapi diam-diam berharap ada yang menghancurkan kita agar tidak perlu lagi berpura-pura. Dan di detak paling brutal musik mereka, ada satu pesan yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang jujur: " Kita tidak sedang dibinasakan dunia. Kita sedang membinasakan diri sendiri dan menikmatinya. "

PSYCOMANTUM - All Instruments